Secara eksternal, dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada dampak dari globalisasi. Globalisasi merupakan proses inkorporatisasi penduduk dunia menjadi satu warga masyarakat dunia (world citizen). Pendidikan Indonesia masih belum dapat bersanding dan bertanding sejajar dengan lembaga pendidikan negara lain dilihat dari beberapa parameter. Misalnya posisi (ranking) perguruan tinggi Indonesia di antara perguruan tinggi negara-negara di dunia atau Asia-Pasifik, prestasi belajar siswa dalam bidang sains dan matematika (TIMSS),program for International Students of Assessment (PISA), dan Human Development Index (HDI).
Keadaan pendidikan Indonesia seperti dipaparkan di atas terjadi karena pemerintah telah mereduksi makna mutu dan akses pendidikan bermutu. Pemerintah mengukur mutu siswa hanya melalui ujian negara (UN); Pemerintah juga mereduksi mutu guru hanya pada program sertifikasi (yang pada prosesnya hanya rangkaian pengumpulan sertifikat-sertifikat); secara manajemen/kelembagaan, pemerintah memaknai mutu pendidikan hanya sampai pada label sekolah bertaraf internasional (SBI); Pemerintah tidak melihat mutu sebagai sebuah proses pembentukan karakter, sikap dan nilai yang harus dimiliki seorang siswa yang berpendidikan dan beradab; pemerintah juga mengabaikan proses penjaminan mutu sebagai syarat mutlak terlaksananya pendidikan bermutu di Indonesia, sehingga tidak terbentuk semangat sharing advantages antara sekolah satu dengan sekolah lainnya agar equity secara horizontal maupun vertikal serta equality dalam pendidikan terjadi; perlu adanya pembenahan peraturan pendidikan tidak pro mutu. Melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) dan program sejenis lainnya, pemerintah sudah merasa dapat menggratiskan sekolah.
Dalam konteks akses pendidikan bermutu yang memenuhi prinsip keadilan,pemerataan dan kesetaraan sesuai amanat UUD 45, layanan pendidikan bermutu yang disediakan pemerintah melalui program internasional hanya dapat dinikmati oleh sekelompok waga bangsa yaitu anak-anak orang kaya atau pejabat tinggi. Hal ini tidak mengherankan, karena-menurut data SUSENAS 2001-biaya untuk sekolah seperti itu sukar dijangkau oleh anak-anak dari masyarakat golongan bawah; sistem seleksi tidak pro pada masyarakat yang kemampuan akses dan ekonominya serba terbatas; sekolah gratis tidak tepat sasaran. Penikmat sekolah gratis yang bermutu lagi-lagi hanya anak-anak orang kaya dan tinggal di kota-kota besar.
Untuk memperbaiki mutu dan akses pendidikan bermutu di Indonesia, Gerakan Guru Berkualitas (GERUTAS ICMI) mengusulkan kepada calon presiden terpilih periode 2009-2014 empat (4) program perbaikan mutu pendidikan,yaitu :
- Professional Development Plan. Program ini diarahkan untuk meningkatkan kemapuan dan kapasitas guru yang terarah,terencana dan berkesinambungan. Selain itu, semangat penumbuhan kultur membaca dan menulis di kalangan guru harus ditingkatkan.
- Pemanfaatan data dalam setiap pembuatan program dan kebijakan pendidikan agar tidak salah arah dan sasaran.
- Pemanfaatan standar yang menjadi rujukan mutu pendidikan nasional maupun internasional sebagai proses menuju Glocalization.
- Merancang anggaran pendidikan yang pro mutu. Anggaran pendidikan harus dirancang berdasarkan variabel-variabel penentu mutu pendidik, yaitu guru melalui peningkatan kesejahteraan, pembentukan kultur sekolah, kegiatan belajar, sarana dan prasarana seperti perpustakaan dan laboratorium, professional development plan dan sebagainya.
Demikianlah usulan perbaikan mutu dan akses pendidikan bermutu di Indonesia, Gerakan Guru Berkualitas (GERUTAS ICMI). Semoga bermanfaat.
Peserta seminar ini diperkirakan 200 orang berasal dari berbagai kalangan :
MPR/DPR/DPD/DPRD
Capres dan Cawapres beserta Tim Sukses
-
Partai Politik
-
Pengurus ICMI
Gubernur
Dinas Pendidikan
-
Universitas/Sekolah
-
Ormas Pendidikan, Ormas Islam
-
Organisasi Guru/Aliansi Guru
Media Cetak dan Elektronik
Masyarakat Pendidikan
Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya Seminar Nasional ini dengan lancar, terutama kepada :
No comments:
Post a Comment