Thursday, July 9, 2009

Media Indonesia : Pemerataan dan akses peningkatan mutu pendidikan bag II






Senin 6 Juli 2009
Oleh Prof.Dr.Husni Rahim

ADA tiga prinsip yang melandasi konsep pemerataan pendidikan, yaitu pemerataan horizontal (horizontal equity), peme- rataan vertikal (vertical equity) dan kesempatan yang merata (equal opportunity). Pemerataan horizontal memerlukan perlakuan yang sama terhadap warga bangsa yang berada atau tinggal di suatu tempat
Pemerataan horizontal memberi perlakuan kepada anak-anak warga bangsa dan meyakinkan bahwa mereka mendapatkan sumber pendidikan (layanan) yang sama dan dapat mencapai hasil sama (standar). Pemerataan horizontal tidak memerlukan keragaman dalam memberikan akses sumber dan hasil atau capaian pendidikan
Dalam prinsip pemerataan vertikal, setiap warga bangsa (peserta didik) di tiap daerah atau wilayah memiliki perbedaan kebutuhan (keragaman). Oleh karena itu, mereka memerlukan sumber yang berbeda dalam pendidikan.


Sistem pendidikan dapat dipandang adil apabila memperhatikan keunikan sumber yang diperlukan untuk mencapai hasil yang sama (menyelesaikan pendidikan) untuk warga bangsa di setiap wilayah atau daerah. Keunikan tersebut termasuk gender, ras, atau suku dan status sosial serta kemampuan fi skal daerah, unit administrasi pendidikan atau karakteristik lokal seperti pendapatan keluarga dan tingkat kemiskinan. Keragaman ini menjadi dasar dalam menetapkan pemerataan pendidikan bagi warga bangsa. Misalnya, peningkatan atau perbaikan pendidikan suatu daerah sangat miskin lebih dipacu agar pendidikan di daerah tersebut mencapai hasil atau target setara dengan capaian pendidikan di daerah lain.

Prinsip ketiga adalah kesempatan pendidikan merata (EEO = equi ty educational opportunity) didasarkan pada pandangan bahwa seluruh peserta didik (warga bangsa) mempunyai kesempatan yang sama untuk mencapai hasil (sukses). Keberhasilan ditentukan oleh karakteristik atau potensi pribadi seperti motivasi dan usaha
Dengan prinsip ini anak-anak warga bangsa dapat mencapai keberhasilan pendidikan setara
Misalnya, peserta didik (anak warga bangsa) hendaknya memiliki akses terhadap sumber yang sama atau adil semenjak permu laan sampai seterusnya dan kondisi seperti ini harus tetap dipertahankan sehingga mereka mencapai keberhasilan. Ada beberapa pertanyaan untuk mengecek tingkat pemerataan dan keajekannya. Misalnya, apakah peserta didik dari kelompok kaya memperoleh pendidikan atau sumber pendidikan lebih besar atau terbuka? Apakah peserta didik (anak warga bangsa) di perkotaan memperoleh akses atau sumber pendidikan lebih besar atau terbuka daripada peserta didik (anak warga bangsa) di perdesaan? (Sherman, 2007).

Sementara itu, sistem seleksi pada pendidikan dasar dan menengah berdasarkan NEM menimbulkan dilema terhadap praktik akses pendidikan bermutu. Kita dapat melihat anak-anak dari kelas well off lebih siap untuk meraih kesempatan pendidikan bermutu yang dilayani melalui sekolahsekolah negeri. Anak-anak warga bangsa dari kelas well off memiliki pengalaman belajar di luar sekolah melalui, misalnya mengikuti bimbingan, mentoring atau les yang memfasilitasi mereka memperoleh hasil baik atau tinggi dalam tes atau ujian atau memenuhi ketentuan standar NEM.Hal inilah yang dapat memudahkan mereka diterima di sekolah negeri berpredikat baik, memiliki sumber pendidikan yang baik seperti guru, lab, pustaka, dan internet.Sementara itu, anak-anak warga bangsa dari kelas bawah tidak memiliki pengalaman belajar di luar sekolah seperti rekannya dari anak-anak keluarga well off dan hasil belajar, tes, atau ujian tertinggal atau di bawah atau tidak dapat memenuhi syarat penerimaan untuk jenjang berikutnya (tidak mampu berkompetisi). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau mereka tidak dapat mengakses layanan pendidikan yang baik di sekolah-sekolah negeri yang baik (top). Anak-anak bangsa dari kelas bawah ini akhirnya memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah biasa atau bermutu rendah atau sekolah swasta dengan mutu yang tidak kompetitif dengan sekolah negeri dan mereka harus mengeluarkan biaya.

Akses pendidikan terbuka juga masih belum mudah diraih oleh kelompok yang memerlukan layanan khusus (gifted dan handicapped children). Anak-anak yang mengalami hambatan mental dan intelektual lantaran genetika atau lain seperti down syndrome, autis tidak mudah mendapatkan pendidikan. Layanan pendidikan untuk kelompok ini biasanya dilakukan oleh kelompok masyarakat yang mempunyai minat dan sumber untuk menangani pendidikan ini, dan biasa sekolah semacam ini ada di kota-kota besar atau kota. Di sisi lain, pemerintah juga telah menyediakan pendidikan melalui sekolah luar biasa (pendekatan konvensional). Sekolah-sekolah negeri tidak dapat melayani anak-anak seperti karena tidak tersedia tenaga guru-pendidik khusus. Anak-anak yang memiliki layanan khusus (handicapped children seperti down syndrome dan autis) dari keluarga miskin atau tinggal di perdesaan apalagi di daerah terpencil, akan sangat sulit memperoleh layanan pendidikan.


Penjaminan mutu
Penjaminan mutu (quality assurance) me- rupakan unsur penting untuk melihat dan menjaga keajekan mutu pendidikan. Secara sederhana, penjaminan mutu merupakan cara atau alat untuk getting it right fi rst time atau usaha untuk meyakinkan bahwa mutu tinggi yang telah dicapai pada permulaan pendidikan diselenggarakan akan tetap terjaga atau ajek. Juga penjaminan mutu merupakan cara untuk mencegah kesalah an atau kekeliruan, memaksimalkan kesempatan untuk mencapai tujuan (Daniela, Silvia, Cola, 2006). Dalam konteks pendidikan tinggi, penjaminan mutu bertujuan meningkatkan mutu serta menjamin perbaikan standar dan mutu pendidikan (tinggi) agar perguruan tinggi dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa, pemakai lulusan pendidikan tinggi, dan penyokong dana. Penjaminan mutu dilakukan melalui kegiatan seperti riset, analisis dan evaluasi akseptabilitas, rekrutmen, prosedur pengangkatan staf dan pengajar, serta sistem dan mekanisme.

Assessment dan audit merupakan dua kegiatan yang terkait dengan penjaminan mutu meski masing-masing memilki karakteristik atau fokus. Assessment merupakan kegiatan meneliti atau menilai secara langsung mutu proses (penyelenggaraan) belajar-mengajar, sedangkan audit mengkaji secara tidak langsung mutu yaitu meneliti mutu arrangement kelembagaan. Assessment melihat pengajaran atau pembelajaran yaitu proses peserta didik sampai pada satu tingkat capaian, sedangkan audit melihat arrangement kelembagaan dalam kaitan menjaga standar akademik (Brown, 2004). Penjaminan mutu pendidikan me ngandung tiga prinsip dasar, yaitu kontrol, akuntabilitas, dan perbaikan/peningkatan. Akuntabilitas lebih banyak berkaitan dengan pemenuhan preferensi politisi, masyarakat, dan penyokong dana. Kontrol berkaitan dengan pengeluaran sumber dan menggambarkan tingkat capaian mutu dibandingkan dengan sumber yang dikeluarkan. Perbaikan (improvement merupakan tujuan penjaminan mutu--institusi memperoleh input (masukan), melakukan perbaikan terhadap proses dan meningkatkan standar keluaran (output) untuk mencapai tujuan akhir (Brown, 2004).

Ada dua jenis atau model penjaminan mutu, yaitu penjaminan mutu secara eksternal (external quality assurance) dan penjaminan mutu secara internal (internal quali ty assurance). External quality assurance atau juga disebut external quality monitoring merupakan konsep umum yaitu assessment mutu yang penyelenggaraannya dapat oleh pihak luar (individu atau lembaga/badan yang diakui kompeten). External quality assurance dimaksudkan untuk mencapai akuntabilitas. Adapun internal atau institutional quality assurance merupakan assessment yang dilakukan oleh lembaga yang bersangkutan (sendiri) untuk pengembangan institusi, meneliti kondisi internal akuntabilitas dan penyelenggaraannya menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang ada dalam institusi dengan maksud memelihara keajekan mutu dan pengembangan kegiatan lem baga (Brown, 2004). Agar pelaksanaan penjaminan mutu berjalan efektif, ada beberapa persyaratan (prinsip), yaitu (a) peningkatan atau perbaikan sebagai tujuan, (b) fokusnya apa yang diperlukan untuk perbaikan atau peningkatan mutu, (c) jiwa dan pro sesnya mendorong, (d) pelaksanaannya partisipatif yaitu melibatkan seluruh pihak ada dalam institusi atau program, (d) mengembangkan keragaman dan inovasi, (e) adanya kontrol yang memadai, (f) kejelasan akuntabilitas lembaga, dan (g) adanya koordinasi yang tepat antarpembuatan keputusan (Brown, 2004).

Mutu pendidikan bagi kita tidak hanya direpresentasikan dengan aspek kognitif atau intelektualitas. Karena, kecerdasan intelektual (IQ) tidak cukup untuk membekali warga untuk mampu bersanding dan bertanding dalam era global (abad 21). Mutu mencakup nilai dan sikap mulia seperti kritis, empati, menghargai perbedaan, memiliki rasa percaya diri, berani mengambil risiko dan sejenisnya yang harus terlahir proses pendidikan
Bagi kita, sikap dan perilaku yang dimaksud merupakan cerminan akhlak terpuji.Oleh sebab itu, bingkai kita tentang mutu pendidikan merupakan kesatuan antara kemampuan pikir (intelektualitas) dan akhlak mulia.

No comments:

Post a Comment